Hamba Allah™

Pada hakekatnya, pakaian adalah segala yang “melekat” di badan ini; entah baju, celana, segala aksesoris yang “melekat” lainnya, termasuk perhiasan. Selaras dengan pengertian ini, bahkan Allah membahasakan suami sebagai “pakaian” dari istri; dan istri adalah “pakaian” dari suami (Q.S. Al-Baqarah: 187: hunna libaasul lakum wa antum libaasun lahunna). Mungkin karena suami dan istri pun “melekat” satu sama lain, hingga mereka tak ubahnya seperti pakaian. Setidaknya ada 3 macam fungsi pakaian yang disebut di dalam Al-Qur’an. Pertama, pakaian sebagai penutup aurat (Q.S. An-Nuur: 58 dan Al-A’raf: 26). Kedua, pakaian sebagai perhiasan (Q.S. Al-A’raf: 26). Dan ketiga, pakaian sebagai pelindung, yakni dari panas dan hujan, juga dari serangan musuh (Q.S. An- Nahl:81). Tak kurang dari 20 ayat ditemukan di dalam Al- Qur’an yang berbicara tentang pakaian. Entah memakai bahasa “libaasun”, “kiswatun”, “saraabilun”, maupun “tsiyabun”. Namun, semuanya berbicara tentang pakaian lahiriah. Pakaian dunia. Hanya ada satu yang menyebutkan tentang pakaian ruhani. Pakaian ruhani adalah sebenar-benar pakaian, yang menunjukkan baik buruknya seseorang. Meski seseorang mengenakan pakaian lahiriah yang mewah dan mahal, tetapi jika pakaian ruhaninya rusak, jelek, terhina, maka dirinya akan terhina pula. Pakaian lahiriahnya tidak bermanfaat apa-apa. Pakaian lahiriahnya tak bisa melindungi kebusukannya. Mungkin ia akan mulia dalam pandangan manusia, tetapi tidak dalam pandangan Allah. Sebaliknya, meski pakaian lahiriah seseorang rusak, jelek, tetapi pakaian ruhaninya bagus, baik, dan terpuji, maka ia akan mulia dalam pandangan Allah, meski mungkin hina di mata manusia. Apakah pakaian ruhani yang dimaksud? Al-Qur’an menyebutnya sebagai pakaian taqwa (libaasut taqwa). Firman-Nya, “Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”. (Q.S. Al-A’raf: 26) *** Ramadan adalah hari-hari dimana kita memintal benang-benang pakaian takwa itu. Hari demi hari kita memintalnya, dengan harapan pada akhir Ramadan, hari kemenangan Idul Fitri, pakaian itu telah sempurnalah sudah dan bisa kita kenakan di hari yang berbahagia itu. Bukan untuk dipakai sekali, setelah itu dilepas kembali. Bukan. Tetapi, pakaian takwa itu seharusnya kita pakai seterusnya sampai tiba kembali Ramadan berikutnya, dimana kita akan memeriksa pakaian takwa itu kembali barangkali ada lubang, kotor, sobek dan sebagainya yang perlu kita cuci, jahit dan rajut kembali. Bagaimana kita merajutnya? Barangkali di sinilah relevannya sabda Nabi SAW, “Jika datang bulan Ramadan, maka dibuka pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu semua syaitan.” (muttafaq ‘alaih). Disamping itu, dilipatgandakanlah amal-amal baik kita. Semua amalan sunnah ganjarannya disetarakan dengan amalan wajib. Bahkan tidur pun dianggap ibadah di bulan Ramadan ini. Semua tidak lain sebagai motivasi buat kita untuk memperbanyak amal kebaikan kita. Mumpung kesempatan itu dibuka lebar-lebar oleh Allah. Allah sedang membuka “Big Sale”. Obral besar-besaran. Tarawih, tadarus, sadaqah, membayar zakat, menolong orang, memberi ta’jil orang berbuka puasa, menghentikan menggunjing orang. Semuanya adalah jalan-jalan kebaikan; jalan-jalan merajut pakaian takwa kita. Inilah amal ibadah yang Allah sendiri nyatakan sebagai “untuk diri-Nya”; tidak seperti amal-amal lain yang berguna bagi diri kita sendiri (dalam sebuah hadits Qudsi). Dan inilah amal dimana kita mengerjakannya atau tidak hanya kita pribadi dan Allah saja yang tahu. Oleh karena itulah, maka bulan Ramadan tidak lain adalah bulan dimana berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) mencapai puncaknya. Sungguh amat rugilah kita yang menyia-nyiakan kesempatan ini. Sungguh celaka, mereka yang sudah memintal dan merajut pakaian takwa dengan susah payah sejak awal Ramadan; tetapi nanti ketika Idul Fitri tiba, tercerai-berai pula pakaian takwanya. Karena sesungguhnya yang lebih berhak atas Idul Fitri itu bukanlah mereka yang pakaian lahiriahnya bagus, melainkan mereka yang pakaian takwanya sempurna. “Laisal ‘id liman labisal jadid Walakinnal ‘id liman imaanuhu yazid” ‘Id itu bukanlah untuk mereka yang bajunya baru, akan tetapi ‘id itu adalah bagi mereka yang imannya bertambah Wallahu a’lam bi ash-shawabpakaian adalah segala yang “melekat” di badan ini; entah baju, celana, segala aksesoris yang “melekat” lainnya, termasuk perhiasan. Selaras dengan pengertian ini, bahkan Allah membahasakan suami sebagai “pakaian” dari istri; dan istri adalah “pakaian” dari suami (Q.S. Al-Baqarah: 187: hunna libaasul lakum wa antum libaasun lahunna). Mungkin karena suami dan istri pun “melekat” satu sama lain, hingga mereka tak ubahnya seperti pakaian. Setidaknya ada 3 macam fungsi pakaian yang disebut di dalam Al-Qur’an. Pertama, pakaian sebagai penutup aurat (Q.S. An-Nuur: 58 dan Al-A’raf: 26). Kedua, pakaian sebagai perhiasan (Q.S. Al-A’raf: 26). Dan ketiga, pakaian sebagai pelindung, yakni dari panas dan hujan, juga dari serangan musuh (Q.S. An- Nahl:81). Tak kurang dari 20 ayat ditemukan di dalam Al- Qur’an yang berbicara tentang pakaian. Entah memakai bahasa “libaasun”, “kiswatun”, “saraabilun”, maupun “tsiyabun”. Namun, semuanya berbicara tentang pakaian lahiriah. Pakaian dunia. Hanya ada satu yang menyebutkan tentang pakaian ruhani. Pakaian ruhani adalah sebenar-benar pakaian, yang menunjukkan baik buruknya seseorang. Meski seseorang mengenakan pakaian lahiriah yang Read More...

oth;'/>